Manusia Tak Sempurna, Tapi Bisa Menjadi Mabrur
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Manusia Tak Sempurna, Tapi Bisa Menjadi Mabrur
Dalam kehidupan ini, sulit—bahkan mustahil—menemukan manusia yang benar-benar sempurna. Kesempurnaan mutlak hanya dimiliki oleh para nabi dan rasul, karena mereka dijaga langsung oleh Allah dari kesalahan (ma’shum). Selain mereka, siapa pun pasti pernah berbuat salah: entah itu ustaz, kiai, habib, pejabat, rakyat, birokrat—selama masih bernama manusia, maka potensi salah tetap ada.
Bahkan, kalau kita jujur pada diri sendiri, sejak usia baligh hingga hari ini, siapa yang tidak pernah tergelincir dalam pandangan, ucapan, atau pendengaran yang keliru? Mustahil. Tapi Allah yang Maha Penyayang tidak membiarkan kita terus tenggelam dalam kesalahan. Ia buka pintu taubat, Ia beri kesempatan bagi siapa pun untuk kembali ke jalan yang benar.
Kesalahan Bukan Akhir, Tapi Awal Perubahan
Allah tidak hanya menyadarkan, tapi juga memberi ruang untuk memperbaiki. Ketika seseorang sadar bahwa dirinya salah, lalu ia mengoreksi dan kembali pada kebaikan, maka dalam Islam, perubahan itu disebut birrun—kebaikan.
Dan jika birrun itu terus menempel dalam diri, membentuk pribadi yang baru dan lebih baik, maka ia menjadi mabrur. Inilah tujuan besar dalam Islam: menjadi insan yang tidak hanya baik, tapi konsisten dalam kebaikannya.
Haji: Latihan Menjadi Manusia Mabrur
Haji bukan sekadar ritual ibadah. Ia adalah kontemplasi hidup. Saat jutaan manusia berkumpul di Arafah dengan pakaian yang sama, tanpa identitas duniawi, semuanya mengingat satu hal: kita akan pulang kepada Allah.
Apakah kita ingin pulang dengan status pencuri? Koruptor? Pemfitnah? Penipu? Di hadapan Allah, semua data akan dibuka. Tak bisa berbohong. Maka wukuf di Arafah adalah momen muhasabah—merenung dan bertobat.
Setelah Arafah, jemaah bergerak ke Muzdalifah dan Mina. Di sana mereka melempar jumrah, yang secara simbolik adalah melontar sifat-sifat buruk dari dalam diri. Diri yang tak bisa menahan nafsu, lingkungan sekitar yang memengaruhi negatif, atau pengaruh buruk dari luar. Satu per satu dilontar: Bismillah, Allahu Akbar.
Lalu ketika melafalkan kalimat:
"Inni wajah tu wajhiya lilladzi fataras samawati wal ard..."
Artinya: "Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Tuhan pencipta langit dan bumi..." Maka itu adalah pengakuan: Ya Allah, aku kembali. Aku pasrah. Aku serahkan hidup dan matiku kepada-Mu. Bila Engkau izinkan aku hidup setelah ini, aku janji akan menjadi pribadi yang lebih baik.
Mabrur: Tak Hanya untuk yang Berhaji
Meski haji adalah ibadah puncak, bukan berarti yang belum berhaji tak bisa menjadi mabrur. Allah kasih jalan bagi semua. Di awal Dzulhijjah, kita bisa memperbanyak puasa dan amal shaleh. Di tanggal 9 Dzulhijjah, berpuasa pada hari Arafah memiliki keutamaan luar biasa.
Ini bukan puasa biasa. Esensinya adalah perenungan, muhasabah. Setelah itu, tanggal 10 kita menyembelih hewan kurban. Tapi hakikat kurban bukan di daging atau darahnya, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hajj ayat 37:
"Layanalallah luhumuha wala dima'uha walakin yanaluhuttaqwa minkum""Daging-daging dan darah-darah hewan kurban itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian."
Itulah mengapa ibadah ini disebut kurban, dari akar kata “qaruba” yang berarti “mendekat”. Tujuannya adalah untuk semakin dekat dengan Allah.
Mabrur dalam Kehidupan Sehari-hari
Mabrur bukan hanya konsep ibadah, tapi harus menjadi karakter. Bahkan Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim, dalam dasar pendidikannya menekankan takwa: dari UUD 1945, Sapta Marga TNI, Pancadarma Hakim, hingga Tribrata Polisi—semuanya mencantumkan nilai takwa.
Sayangnya, banyak orang pintar tapi tak punya takwa. Maka kecerdasannya bisa membawa pada keburukan: korupsi, manipulasi, kebohongan. Di sinilah pentingnya takwa. Setiap Jumat kita diingatkan dalam khutbah: “Ittaqullah haqqa tuqatih”—bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Tapi apakah setelah Jumatan, hidup kita benar-benar mencerminkan takwa itu?
Jangan sampai kita rutin ibadah, tapi tidak berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Jangan sampai kita pulang Jumatan malah kehilangan sandal, atau kehilangan nilai-nilai kejujuran dan kesadaran diri.
Penutup: Menjadi Manusia Mabrur
Mabrur adalah buah dari muhasabah, tobat, dan komitmen memperbaiki diri. Entah lewat haji, puasa, atau ibadah lainnya—selama itu membentuk kita menjadi lebih baik, maka kita termasuk dalam golongan hamba yang diridhai.
Jika hari ini kita belum bisa berangkat haji, tidak apa-apa. Tapi kita bisa memulai langkah menjadi pribadi yang mabrur dari sekarang. Ubah yang tidak baik jadi baik. Dekatkan diri kepada Allah. Jadikan setiap ibadah bukan sekadar ritual, tapi sarana perubahan.
“Al-Hajjul Mabrur laisa lahu jazaa’ illa al-jannah.”
Haji yang mabrur, tidak ada balasan baginya kecuali surga. (HR. Bukhari & Muslim)
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya

Komentar