canva.comAku
sambil menikmati kopi bersama hujan dibalik jendela. Terlintas dalam pikiran
dan hati, laki-laki yang pernah kucintai dulu. Kopi yang kunikmati berasa
pahit, yang sama pahitnya dengan semua kenangan bersamamu. Teringat kejadian
dulu yang menghantam pikiranku dengan keras, dan menikam hatiku cukup kuat.
Aku
sudah menjalani hubungan dengan Aldo selama dua tahun lamanya, kenangan pahit
dan manis kujalani bersama denganya. Hingga Aldo meminta diriku untuk menjadi
istrinya, waktu itu saat diriku di rumah, Aldo mengajakku pergi jalan-jalan.
“Mel,
ayok kita jalan-jalan,” ajak Aldo.
“Kemana?”
tanyaku sambil tersenyum.
“Rahasia.”
Aldo sambil menahan tawanya.
“Ya
udah, ayok.” Diriku yang sangat bersemangat.
Kami
akhirnya berangkat dengan mengendarai mobil, hujan kini datang dengan deras,
tetapi hanya sebentar .Setelah setengah jam kemudian, akhirnya kami sampai di
tempat yang sangat indah. Aku tidak tahu tempat apa ini, banyak berbagai bunga
yang tersusun rapi, ditambah rerumputan yang hijau, ini sunguh indah. Ditambah
pelangi yang indah, sunguh menjadi tempat yang sangat indah, yang belum aku
temuai sebelumnya. Aku berlari duduk di ayunan, sambil melihat banyak kelinci
yang lucu di kandang.
“Apa
kamu menyukainya?” Aldo sambil tersenyum manatapku.
“Iya.
Aku sangat menyukainya, terima kasih.” Aku sambil menikmati ayunan yang sangat
menyenangkan ini.
“Apa
kamu tidak ingin memberi makan burung merpati?” Aldo sambil menghentikan
ayunan, yang kini kunikmati.
Tanpa
berpikir panjang aku menjawab,” Iya ayok.”
Aldo
langsung mengandeng tanganku, dan langusng mengambil makanan burung merpati,
kini aku bersamanya menaburkan makanan burung merpati di tanah, setelah itu
burung merpati pun datang sangat banyak.
“Kamu
suka, Mel?” Aldo sambil tersenyum tulus menatapku.
“Iya.
Aku mau foto bersama burung merpati, Al,” ujarku.
“Iya.
Kamu berdiri disini akan kufotokan,” Aldo tersenyum sambil mengeluarkan
cameranya.
Aku
sambil berdiri dengan ribuan burung merpati, dan diriku membawa satu burung
merpati warna putih.
Satu,
dua, tiga CEKREK ....
“Lihatlah
ini, kamu sangat cantik,” puji Aldo.
“Bisa
aja kamu.” Diriku menahan tawa sambil tersipu malu, kini wajahku memerah
seperti tomat.
Aldo
hanya tersenyum sambil menatapku.
“Ada
apa Al?” tanyaku penasaran.
“Ada
sesuatu hal yang kuingin bicarakan denganmu,” ujar Aldo.
“Apa?”
tanyaku.
“Ayok,
duduk kesana!” Aldo sambil mengandeng tanganku.
Kami
duduk di bawah pohon. Suasananya sangat begitu romantis, ribuan bunga yang
penuh warna ditambah lagi wangi bunga yang menjadi tempat ini sangat nyaman.
“Ada
apa Al?” tanyaku.
“Aku
ingin menikahimu, apakah kamu mau menjadi istriku?” Aldo dengan wajah penuh
harap sambil mengeluarkan cincin permata di sakunya.
Sungguh
aku sangat terharu, ingin rasanya menangis bahagia. Keinginan yang telah lama
aku pendam selama dua tahun, kini akhirnya terwujud.
“Iya
aku mau.” Diriku sambil tersenyum tulus menatap Aldo.
Aldo
langsung memasangkan cicin di jari manisku.
“Sangat
cantik,” puji Aldo.
“Terima
kasih,” ujarku bahagia.
“Aku
ingin pernikahan kita dipercepat, satu bulan lagi.” Aldo sambil mengengam
tanganku.
“Iya
Al,” ujarku bahagia.
Setelah
itu, kami pulang. Aldo mengantarku ke rumah, kini diriku tingal di rumah
sendiri. Ayah dan ibu sudah meninggal dunia. Diriku hanya sebatang kara,
semenjak itu hidupku lebih bewarna, karena Aldo telah mengisi hari-hariku
dengan kebahagiaan.
“Aku
pulang dulu ya.” Aldo sambil mengelus kepalaku.
“Hati-hati,
Al.” Diriku sambil melambaikan tangan kepada Aldo.
Aldo
langsung masuk ke dalam mobil sambil tersenyum manis ke arahku.
Hari
demi hari kujalani dengan lancar, kurang beberapa Minggu lagi pernikahanku
dengan Aldo akan dilaksankana, namun sayangnya 180 derajat sifat Aldo berubah
total. Dia jarang memberiku kabar. Mengajak untuk bertemu dengan dirinya saja
sangat sulit, begitu dengan jawaban Aldo singkat saat kuchat. Sakit hati kini
kurasakan, sesak di hati ini membuatku pilu, dan masalah ini penuh dengan tanda
tanya. Akhirnya aku memutuskan untuk menemui di kantornya.
“Mbak.
Kalau boleh tahu, Pak Aldonya ada?” tanyaku pada seseorang karyawan.
“Ada.
Di ruangan itu, Bu.” Karyawan sambil menunjukan ruangan yang tertutup.
“Terima
kasih,” ujarku.
Saat
aku menuju ruangan tersebut, tiba-tiba ada anak kecil sekitar umur empat tahun
lari dengan kencang dan menabrakku. Hingga anak kecil tersebut jatuh.
“Aduh
... sakit.” Anak kecil itu sambil menatapku dan menahan tangisnya.
Aku
langsung jongkong dan berkata. “Hati-hati ya, Nak.”
“Maaf,”
ujar anak kecil tersebut.
“Kamu
sangat lucu banget.” Diriku sambil mencubit kecil pipinya yang mengembang.
“Tante
cantik.” Anak kecil sambil tersenyum kepadaku.
Aku
hanya tersenyum menatapnya, dalam benakku berharap menginginkan anak selucu ini
dengan Aldo.
“Ibu,”
pangil anak kecil tersebut kepada wanita cantik yang berdiri di depanku.
“Kamu
disini sayang.” Ibu itu langsung memeluk anaknya.
“Aku
tidak sengaja, tadi bertemu dengan anakmu, kalau boleh tahu siapa namanya?”
Diriku sambil tersenyum pada ibunya.
“Namanya
Keisya,” ujar Ibu tersebut.
“Perkenalkan
namaku Melda, kalau nama anda siapa?” Diriku sambil mengulurkan tangan.
“Namaku
Ratna.” Ratna bersalaman denganku sambil tersenyum tulus.
“Ya
udah ... aku duluan ya, Mel,” ujar Ratna.
“Oww,
iya silakan.” Diriku sambil melambaikan tangan pada Keisyah.
Aku
langsung menuju ruangan Aldo bekerja dan mengetuk pintunya.
Tok,
tok, tok
“Aldo.”
Diriku sambil mengetuk pintu ruanganya.
“Masuk,”
ujar Aldo dalam ruangan.
Aku
langsung masuk ke dalam ruanganya, dan mengampiri Aldo, yang kini sedang sibuk
dengan laptopnya.
“Al,”
sapaku.
“Iya.”
Aldo hanya menoleh diriku sekilas.
“Ada
apa sih, kenapa sifatmu tiba-tba berubah?” tanyaku dengan raut wajah sedih.
“Kamu
datang kesini, hanya menayakan hal yang tidak penting.” Kesal Aldo sambil
menghembuskan nafasnya kasar.
“Itu
penting, Al,” ujarku sedih.
“Silakan
kamu pulang, nanti aku ke rumahmu. Aku sekarang lagi sibuk.” Aldo sambil
mengetik dengan serius.
“Aku
sudah datang kesini jauh-jauh, malah diusir. Aku tahu kalau kamu sibuk, tapi
sempat-sempatlah memberiku kabar, agar diriku tidak khwatir,” ujarku dalam
benak.
“Udah
pergi,” perintah Aldo.
Diriku
sambi membendung air mata dan meninggalkan ruangan Aldo.
Setelah
satu jam berlalu, Aldo datang ke rumahku.
“Mel,
ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu.” Aldo yang masih berdiri di
ambang pintu.
“silakan
duduk,” ujarku.
Aldo
langsung duduk di sampingku, lalu dia mengengam tanganku sambil menatapku
sangat dalam.
“Al,
kenapa kamu akhir-akhir ini sulit dihubungi?” tanyaku.
“Jadi
gini, aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini.” Aldo sambil menatapku.
Rasa
sesak kini menikam kuat hatiku, air mata yang sudah lama aku simpan telah
menetes di pipi. Sungguh aku sangat tidak percaya Aldo mengagalkan pernikahan,
harapan yang telah lama aku impikan kini sudah pupus, kenangan manis bersamamu
kini telah tergantikan rasa kecewa sangat dalam.
“Kenapa?”
Diriku sambil menatapnya dengan linang air mata.
“Karena
aku akan merantau jauh,” ujar Aldo.
“Aku
bisa ikut denganmu, Al.” Diriku sambil mengengam erat tanganya.
“Maafkan
aku.” Aldo langsung berdiri dari tempat duduk dan meninggalkan diriku.
“Oww
Tuhan ... lalu untuk apa dua tahun bersama dengannya mengukir kenangan, yang
tidak ada artinya,” ujarku dalam benak.
Dinginnya
malam ditemani hujan, kini manambah rasa kecewaku sangat dalam. Air mata yang
dari tadi tidak berhenti menetes perasaan sakit hati ini yang ditikam cukup
kuat. Diriku mengambil semua foto-foto yang telah kusimpan di sebuah album,
sambil melihat kenangan bersama Aldo dari mulai merayakan universary, ulang tahunku, ulang tahunya, saat aku wisuda, dan saat
aku di lamar olehnya. Semua kenangan itu, kini sudah bakar habis. Diriku yang
tidak sengaja melihat cincin permata pemberian Aldo di jari manisku, kini
kulepas.Aku tidak munkin membuangnya, besok akan kukembalikan padanya.
Hari
sudah pagi, aku bersiap-siap untuk pergi ke kantornya Aldo. Setelah beberapa
menit akhirnya aku sampai dan kini diriku menuju ruanganya.
Tok,
tok, tok
Diriku
mengentuk ruangan Aldo.
“Masuk,”
ujar Aldo.
“Ngapain
lagi kamu disini?” Aldo sambil menatapku tajam.
“Aku
hanya ingin mengembalikan cincin ini padamu.” Diriku meletakan cincin permata
itu sambil menatap Aldo.
“Sayang,
Keisya ingin dibelikan es cream.” Ratna sambil mengendong Keisyah dan mendekati
Aldo.
“Ayah,”
ujar Keisyah yang ingin digendong Aldo.
“Pikiranku
benar-benar kacau, kebingungan kini membuatku rumit. Apa yang sebenarnya
terjadi, kenapa Ratna memanggil Aldo dengan pangilan sayang, mengapa Keisyah
memanggil Aldo dengan pangilan Ayah,” ujarku dalam benak.
“Melda,
kamu ngapain disini?” Ratna sambil menatapku dengan tersenyum.
Aku
hanya tersenyum palsu, sambil berkata. “Kamu ngapain disini?”
“memberitahukan
suamiku kalau Keisyah ingin beli es cream.” Ratna sambil tersenyum manatapku.
Sungguh aku tidak menyangka, bahwa orang yang selama
ini aku sayangi, sudah memiliki keluarga. Diriku sambil menatap Aldo yang
dengan santainya menyakiti perasaanku. Diriku langsung keluar dari ruanganya
dan meninggalkan cincin permata itu di meja. Teryata cinta ini penuh dengan
kebohongan, untuk apa singgah hanya untuk menaruh luka, untuk apa seolah-olah
membuatku bahagia, nyatanya kepalsuan cinta dan kenangan pahit yang aku
dapatkan. Diriku hanya bisa mengihklaskan, dan berdamai pada luka ini. Pelangi
yang indah saat kulihat bersamamu dulu, kini memang sudah usai dan kisah kita
telah selesai